Senin, 26 April 2010

http://studentsite.gunadarma.ac.id/home/index.php?stateid=tugas
Manajemen Kredit Syariah

        
 

Menurut UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan, disebutkan bahwa “kredit adalah penyediaan uang tagihan atau yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjaman antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”. Menurut Siamat (1999), kredit ini dapat digolongkan kedalam enam bentuk yaitu :
1.      Penggolongan kredit berdasarkan jangka waktu (maturity), antara lain :
a.      Kredit jangka pendek (short-term loan).
b.      Kredit jangka menengah (medium-term loan)
c.      Kredit jangka panjang (long-term loan).
2.      Penggolongan kredit berdasarkan barang jaminan (collateral), antara lain :
a.      Kredit dengan jaminan (secured loan).
b.      Kredit dengan jaminan (unsecured loan).
3.      Kredit berdasarkan segmen usaha, seperti otomotif, pharmasi, tekstil, makanan, konstruksi dan sebagainya.
4.      Penggolongan kredit berdasarkan tujuannya, antara lain :
a.      kredit komersil (commercial loan), yaitu kredit yang diberikan untuk memperlancar kegiatan usaha nasabah di bidang perdagangan.
b.      Kredit konsumtif (consumer loan), yaitu kredit yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan debitur yang bersifat konsumtif.
c.      Kredit produktif (productive loan), yaitu kredit yang diberikan dalam rangka membiayai kebutuhan modal kerja debitur sehingga dapat memperlancar produksi.
5.      Penggolongan kredit menurut penggunaannya, antara lain :
a.      Kredit modal kerja (working capital credit), yaitu kredit yang diberikan oleh bank untuk menambah modal kerja debitur.
b.      Kredit investasi (Invesment credit), yaitu kredit yang diberikan oleh bank kepada perusahaan untuk digunakan melakukan investasi dengan membeli barang-barang modal.
6.      Kredit non kas (non cash loan), yaitu kredit yang diberikan kepada nasabah yang hanya boleh ditarik apabila suatu transaksi yang telah diperjanjikan telah direalisasikan atau efektif.
           
            Dalam pendanaan kepada nasabah dalam bentuk pemberian kredit, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan penilaian kredit, oleh karena layak tidaknya kredit yang diberikan akan sangat mempengaruhi stabilitas keuangan bank. Menurut Rahardja (1997), penilaian kredit harus memenuhi criteria sebagai berikut :
1.      Keamanan kredit (safety). Harus benar-benar diyakini bahwa kredit tersebut dapat dilunasi kembali.
2.      Terarahnya tujuan penggunaan kredit (suitability). Kredit akan digunakan untuk tujuan yang sejalan dengan kepentingan masyarakat atau setidaknya tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
3.      Menguntungkan (profitable). Kredit yang diberikan menguntungkan bagi bank maupun bagi nasabah.
            Menurut Sinungan (1993), metode lain yang dapat digunakan untuk menentukan nilai kredit adalah dengan menggunakan formula 4P, yaitu : (1) Personality ; (2) Purpose ; (3) Prospect; (4) Payment.
            Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi resiko penilaian kredit (Rahardja:1997), antara lain : (1) Character ; (2) Capacity ; (3) Capital ; (4) Conditional ; (5) Collateral.
            Risiko Bank Syariah sebetulnya lebih kecil dibanding bank konvensional. Bank Syariah tidak akan mengalami negative spread, karena dari dana yang dikucurkan untuk pembiayaan akan diperoleh pendapatan, bukan bunga seperti di bank biasa. Sementara untuk deposan, Bank Syariah tidak memberikan bunga melainkan sistem bagi hasil atau mudharabah.
            Jika pendapatan dari kredit atau dalam Bank Syariah disebut murabahah ditetapkan 10 persen, maka pada mudharabah (sistem bagi hasil) akan ditetapkan angka lebih rendah. Selisihnya merupakan pendapatan bank sebagai biaya jasa. Risiko Bank Syariah terhadap transaksi foreign exchange juga rendah karena, pada Bank Syariah transaksi valas hanya diizinkan dalam bentuk transaksi spot. Sementara forward dan swap tidak diizinkan karena bersifat gambling. (Karim, 2003).
            Aspek-aspek lainnya yang perlu diperhatikan dalam penilaian kredit, yang menyangkut kegiatan usaha calon debitur (Siamat:1999), antara lain :
1.      Aspek pemasaran. Menyangkut kemampuan daya beli masyarakat, keadaan kompetisi, pangsa pasar, kualitas produksi dan lain sebagainya.
2.      Aspek teknis. Meliputi kelancaran produksi, kapasitas produksi, mesin dan peralatan, ketersediaan dan kontinuitas bahan baku.
3.      Aspek manajemen. Meliputi struktur dan susunan organisasi, termasuk pengalaman anggota dan pola kepemimpinan manajemen.
4.      Aspek yuridis. Meliputi status hukum badan usaha, kelengkapan izin usaha dan legalitas barang jaminan.
5.      Aspek sosial ekonomi. Meliputi keadaan keuangan perusahaan debitur yang dibiayai.
            Manajemen kredit bank syari’ah secara umum diterapkan dengan berpegang teguh kepada syariah Islam (Al-Qur’an dan Al-Hadist). Diharapkan lembaga keuangan maupun bank dengan sistem syariah dapat menjaga kestabilan keuangan mereka (income stability). Selain itu, bank syariah diharapkan dapat lebih memaksimalkan pelayanan mobilisasi dana masyarakat dan memberikan jaminan keuangan dengan pasti. Di sisi lain, penyaluran kembali dana masyarakat dalam bentuk pembiayaan, akan berjalan normal sesuai dengan harapan dan tujuan bersama.
            Permasalahan yang biasanya dialami oleh lembaga keuangan syariah atau bank muamalat dalam kegiatan operasionalnya, antara lain :
1.      Modal (capital).
2.      Human resource activity (kegiatan operasional).
3.      Operational management system (sistem manajemen keuangan).
4.      Financial management system (sistem manajemen keuangan).
5.      Loyality of credit (loyalitas kredit).
            Karim (2003), mengemukakan bahwa pada sisi kredit, dalam aturan syariah bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli murabahah). Mekanisme seperti itu, akan mencegah kemungkinan dana kredit digunakan untuk transaksi spekulasi, atau untuk jual beli valas. Jika terjadi default, bank mudah mendapatkan dananya kembali karena ada aset yang nilainya jelas berupa sejumlah kredit yang dikucurkan. Dalam Bank Syariah, karakter nasabah (personal guarantee) lebih dinomorsatukan, ketimbang cover guarantee berupa aset. Debitor yang dinilai tidak cacat hukum dan kegiatan usahanya baik akan mendapat prioritas.

 Hubungan Antara Kredit dengan Piutang
               Piutang merupakan cadangan penerimaan yang mungkin diterima oleh suatu badan usaha, dalam jumlah tertentu dan dalam jangka waktu tertentu dimasa yang akan datang. Piutang lahir akibat adanya pendanaan dalam bentuk pemberian kredit dan pemberian jasa lainnya, dimana pembayaran dari penggunaan jasa tersebut dilakukan pada waktu tertentu, misal harian, mingguan, bulanan atau periode waktu lainnya. Besarnya piutang yang akan diterima badan usaha (bank atau lembaga keuangan), ditentukan berdasarkan kesepakatan antara pihak pemberi jasa (bank atau lembaga keuangan) dan pihak pengguna jasa. Semakin besarnya kredit yang diberikan, akan menambah besarnya resiko yang akan ditanggung badan usaha.
            Resiko kredit karena adanya piutang, dapat melalui prosentase perbandingan antara jumlah kredit bermasalah dengan jumlah harta keseluruhan (Sutojo:1997). Resiko lain yang dapat ditimbulkan oleh piutang adalah pada penerimaan bersih (earning after taxes). Semakin besar jumlah piutang dan jumlah piutang tak tertagih (bad debt) yang dimiliki badan usaha, akan menyebabkan semakin kecil penerimaan bersih yang mampu diperoleh badan usaha, baik lembaga keuangan maupun bank. Mengingat bahwa piutang sangat berpengaruh terhadap kestabilan usaha, maka piutang perlu dikelola dengan baik. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam manajemen piutang, antara lain :
1.      Credit policy. Kebijakan kredit ini menyangkut bagaimana jangka waktu penetapan piutang, besarnya piutang dan penetapan cara-cara pembayaran oleh debitur.
2.      Credit scoring. Hal ini berkaitan dengan penilaian kredit dan pemberian ranking (pengelompok piutang).
3.      Credit standard. Standar atau patokan terhadap pemberian ranking dalam penilaian kredit bank.

Menuju Bank Syari’ah 2011
          Tak bisa dipungkiri perkembangan bank syari’ah memang cukup pesat. Namun, perkembangan bank sistem bagi hasil ini harus dibarengi dengan konsolidasi internal dan eksternal bank agar semakin tangguh dan dipercaya masyarakat. Bank Indonesia sendiri sebagai pengawas perbankan telah menentukan sasaran realistis untuk mewujudkan visi perbankan syari’ah yang kompetitif, efisien dan memenuhi prinsip kehati-hatian. Berikut ini sasaran pengembangan bank syari’ah hingga 2011:
1. Terpenuhinya prinsip syari’ah dalam opersional perbankan yang ditandai dengan:
-        Tersusunnya norma-norma keuangan syari’ah yang seragam (standarisasi).
-        Terwujudnya mekanisme kerja yang efisien bagi pengawasan prinsip syari’ah dalam operasional perbankan (baik instrumen maupun badan terkait).
-        Rendahnya tingkat keluhan masyarakat dalam hal penerapan prinsip syari’ah dalam setiap transaksi.
2. Diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan syari’ah:
-        Terwujudnya kerangka pengaturan dan pengawasan berbasis resiko yang sesuai dengan karakteristiknya dan didukung oleh sumber daya manusia yang handal.
-        Diterapkannya konsep good corporate governance dalam operasi perbankan syari’ah.
-        Diterapkannya kebijakan exit dan entre yang efisien.
-        Terwujudnya realtime supervision.
-        Terwujudnya self regulatory system.
3. Terciptanya sistem perbankan syari’ah yang kompetitif dan efisien, yang ditandai dengan:
-        Terciptnya pemain-pemain yang mampu bersaing secara global.
-        Terwujudnya aliansi strategis yang efektif.
-        Terwujudnya mekanisme kerja sama dengan lembaga-lembaga pendukung.
4. Terwujudnya stabilitas sistemik serta terealisasinya kemanfaatan bagi masyarakat luas, yang ditandai dengan:
-        Terwujudnya safety net yang menyatu dengan konsep operasional perbankan yang berhati-hati.
-        Terpenuhinya kebutuhan masyarakat yang menginginkan layanan bank syari’ah di seluruh Indonesia dengan terget pangsa sebesar 5% dari total aset perbankan nasional.
-        Terwujudnya fungsi perbankan syari’ah yang kaafah dan dapat melayani seluruh segmen masyarakat.
-        Meningkatnya proporsi pola pembiayaan secara bagi hasil.

Kesimpulan dan Saran
1.      Lembaga keuangan syariah atau bank muamalat merupakan badan usaha yang bergerak dalam bidang keuangan, untuk memobilisasi dana masyarakat dan memberikan pelayanan jasa perbankan lainnya berdasarkan prinsip-prinsip syariah Islam yang bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Hadist.
2.      Satu hal yang membedakan antara bank Islam dengan bank konvensional adalah penerapan sistem bagi hasil yang menggantikan sistem bunga. Sistem ini merupakan terobosan terbaru dalam dunia perbankan, bagi mereka yang tidak menginginkan adanya unsur riba pada bunga.
3.      Pendanaan dalam bentuk pemberian kredit pada pola bank Islam maupun lembaga keuangan syariah, perlu mendapat perhatian yang serius. Kredit macet dapat menyebabkan likuiditas, keamanan dan penerimaan bank menjadi rendah dan bahkan dapat mendatangkan kerugian yang cukup.
4.      Kombinasi antara manajemen bank umum dengan sistem keuangan syariah, dapat diterapkan sebagai sarana untuk menyeimbangkan antara dua kepentingan (lenders borrowers).
5.      Perlu dipersiapkan panduan pengelolaan risiko atau benchmarking bagi bank-bank syari’ah di Indonesia dengan melakukan studi banding ke negara-negara yang menjalankan sistem perbankan Islam. Hal ini sangat diperlukan mengingat struktur aset dan kredit bank syari’ah berbeda dengan bank biasa. Sementara Based Accord II yang digunakan sebagai acuan bank konvensional tidak bisa digunakan begitu saja oleh bank syari’ah.

  Refrensi :

             Buku Menimbang Risiko Kredit di Bank Syariah. Majalah Investor No.88 Tahun V. Jakarta.
             www.google.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar