Kamis, 07 Januari 2010

Banyak peluang, harapan yang kita punya jikalau kita mau berusaha sekeras mungkin tanpa mengenal malu atau pun gengsi, itu lh kata kata speakers deny yang saya dapat ambil dan saya maknai dlm kehidupan saya.
Banyak orang di sekeliling kita yang dapat membantu kita dalam berpeluang dalam berwirausaha diantara nya:
1.Keluarga
2.Lingkungan
3.Teman Kuliah
4.ataupun musuh kita sendiri.

Di dalam kita memulai berwirausaha yang terpenting kita mengetahui jenis usaha yang akan kita jalanin,prospek usaha tersebut pada pasar, secara mendetail kita harus mengetahui prodak kita tersebut, dan juga yang paling terpenting kita juga harus yakin produk kita tersebut akan diterima oleh konsumen dan berhasil masuk ke Pasar Global. Dan kita juga dapat membuka Lapangan pekerjaan bagi orang banyak,sehingga kita juga mampu memperbaiki Perekonomian Indonesia dalam membangun Perekonmian Bangsa Kita.

Smangat INDONESIA ...!!!





Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?

SEJAK awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.

PADA umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin.

Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.

Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.

Penyebab kegagalan

Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.

Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.

Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).

Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.

Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.

Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.

Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu.

Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS.

Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik.

Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap, antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data rumah tangga miskin oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Meski demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu, indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam-tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan sistem sosial yang spesifik-lokal.

Strategi ke depan

Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal.

Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal.

Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas.

Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas.

Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang lebih besar, dan wilayah.

Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu antropologi, dan lainnya.

Belum memadai

Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga.

Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, perlu adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan informasi kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi pemborosan dana dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan melalui kebijakan dan program yang lebih tepat dalam pembangunan.

Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), baik lokal maupun nasional atau internasional, agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih.

Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan apabila pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna atau arti dari informasi itu. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen.

Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemerintah daerah, instansi terkait, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program.

Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik pemerintah daerah, dinas-dinas pemerintahan terkait, perguruan tinggi, dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat serta menggunakannya secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai.

Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah.

Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan sistem pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya dikembangkan pula mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas dan kabupaten.

Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara komunitas pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat.

Refrensi :

Asido simarmata (31208553 )

www.google.com

www.bps.com

Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0402/10/ekonomi/847162.htm

1. Forum Kerjasama Ekonomi negara-negara di kawasan Asia Pasifik (Asia Pacific
Economic Cooperation-APEC) dibentuk pada tahun 1989 berdasarkan gagasan
Perdana Menteri Australia, Bob Hawke. Tujuan forum ini selain untuk
memperkuat pertumbuhan ekonomi kawasan juga mengembangkan dan
memproyeksikan kepentingan-kepentingan kawasan dalam konteks multilateral.
2. Mengingat APEC lebih dititikberatkan pada hubungan ekonomi, maka setiap
anggota, termasuk negara, disebut sebagai entitas ekonomi. Keanggotaan APEC
terdiri dari 21 ekonomi yang terdiri dari Australia, Brunei Darussalam, Kanada,
Chile, China, Hong Kong, Indonesia, Jepang, Korea, Malaysia, Meksiko, PNG, Peru,
Filipina, Rusia, Singapura, Chinese Taipei, Thailand, AS dan Vietnam.
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh APEC Secretariat, total penduduk di
wilayah APEC mencapai 2,6 milyar dengan total GDP mencapai 57 persen (US$
19,254 milyar) dari GDP dunia, serta total perdagangan APEC mencapai 47
persen dari total perdagangan dunia.
3. Dengan potensi perdagangan dan investasi yang ada di APEC, dalam sepuluh
tahun terakhir data ekonomi makro APEC telah menunjukkan peningkatan, antara
lain (i) peningkatan ekspor APEC sebesar 113 persen yang mencapai USD 2,5
trilyun; (ii) meningkatnya pertumbuhan foreign direct investment di APEC yaitu
sebesar 210 persen untuk seluruh APEC, dan sebesar 475 persen di ekonomi
yang berpendapatan rendah, (iii) pertumbuhan GDP sebesar 33 persen untuk
seluruh APEC dan 74 persen di ekonomi yang berpendapatan rendah.
4. Sebagai forum regional, APEC memiliki karakteristik yang membedakannya dari
berbagai forum kerjasama ekonomi kawasan lainnya, yakni sifatnya yang tidak
mengikat (non-binding). Berbagai keputusan diperoleh secara konsensus dan
komitmen pelaksanaannya didasarkan pada kesukarelaan (voluntarism). Selain
itu APEC juga dilandasi oleh prinsip-prinsip konsultatif, komprehensif, fleksibel,
transparan, regionalisme terbuka dan pengakuan atas perbedaan pembangunan
antara ekonomi maju dan ekonomi berkembang.
5. Sejak pembentukannya, berbagai kegiatan APEC telah menghasilkan berbagai
komitmen antara lain pengurangan tariff dan hambatan non tariff lainnya di
kawasan Asia-Pasifik, menciptakan kondisi ekonomi domestik yang lebih efisien
dan meningkatkan perdagangan secara dramatis. Visi utama APEC tertuang
dalam 'Bogor Goals' of free and open trade and investment in the Asia-Pacific by
2010 for industrialised economies and 2020 for developing economies yang
diterima dan disepakati oleh Kepala Negara dalam pertemuan di Bogor, Indonesia
pada tahun 1994.
APEC DAN PERKEMBANGANNYA
1. Kemajuan pesat yang dialami APEC tidak lepas dari dorongan politis langsung
yang diberikan para Pemimpin melalui APEC Economic Leaders Meeting sejak
AELM I di Blake Island, AS tahun 1993. Sejak saat itu, telah berlangsung 12 (dua
belas) kali pertemuan. Namun demikian, AELM tahun 1993-1996 merupakan
tahapan-tahapan penting yang menjadi dasar kerjasama APEC.
2. Tahapan kegiatan APEC telah berkembang dari perumusan visi di Blake ke
tahapan target dan komitmen pada AELM II di Indonesia tahun 1994 yang
mencatat momentum penting dalam sejarah perkembangan APEC dengan
disepakatinya Bogor Goals yang memuat kerangka waktu liberalisasi
perdagangan dan investasi secara penuh pada tahun 2010 untuk ekonomi maju,
dan 2020 untuk ekonomi berkembang.
Tiga unsur kerjasama APEC, sebagaimana disebutkan dalam Deklarasi Para
Pemimpin APEC di Bogor tersebut adalah:
· strengthening the open multilateral trading system
· enhancing trade and investment liberalization in the Asia-Pacific; dan
· intensifying Asia-Pacific development cooperation.
Dimasukkannya wacana mengenai kerjasama pembangunan Asia Pasifik (butir 3)
merupakan inisiatif Indonesia. Tujuannya, sebagaimana disebutkan dalam
Deklarasi Bogor, adalah untuk mendorong negara anggota APEC untuk
mengembangkan sumber daya alam maupun manusia di kawasan Asia dan
Pasifik guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan
pembangunan yang merata dengan mengurangi jurang ekonomi di antara para
anggota APEC.
3. Selanjutnya, pada Pertemuan Pemimpin APEC di Osaka, Jepang tahun 1995,
dicatat beberapa perkembangan penting di APEC, antara lain:
Ø deklarasi tiga pilar kerjasama APEC berdasarkan Deklarasi Bogor, yaitu
liberalisasi dan fasilitasi perdagangan dan investasi (lebih dikenal sebagai pilar
TILF/Trade and Investment Liberalization and Facilitation), serta pilar Economic
and Technical Cooperation (ECOTECH);
Ø penetapan Osaka Action Agenda (OAA), yang merupakan cetak biru liberalisasi
dan fasilitasi perdagangan dan investasi untuk mengarahkan kerjasama ekonomi
dan teknik. OAA digunakan sebagai ukuran dalam perancangan rencana kerja dan
proyek-proyek APEC, dan terbagi atas: Bagian Pertama yang memuat elaborasi
kerja di bawah pilar Trade and Investment Liberalization Facilitation (TILF); dan
Bagian Kedua, yang memuat rencana kerja dalam kerangka ECOTECH dan
menetapkan bidang-bidang kerjasama sesuai dengan Working Group;
4. Pada tahun 1996 di Manila, dihasilkan pijakan penting untuk pilar ECOTECH,
yaitu deklarasi para pemimpin APEC mengenai Framework for Strengthening
Economic Cooperation and Development, yang selanjutnya lebih dikenal sebagai
MAPA (Manila APEC Plan of Action). MAPA menetapkan enam wilayah prioritas
kerjasama di bawah pilar ECOTECH, yaitu: (i) pengembangan modal sumber daya
manusia, (ii) menciptakan pasar modal yang aman dan efisien, (iii) memperkuat
infrastruktur ekonomi, (iv) merancang teknologi untuk masa depan, (v)
mendorong pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan, serta (vi)
membangun dasar bagi dan mendorong pertumbuhan usaha kecil dan menengah
(UKM).
5. Pada tahun 1997 di Vancouver, Canada, APEC menghasilkan proposal untuk
Early Voluntary Sectoral Liberalization (EVSL) di 15 sektor dan memutuskan agar
update Individual Action Plans (IAP) atau Rencana Aksi Individu (RAI) harus
dilakukan setiap tahunnya.
6. Pada tahun 1998 di Kuala Lumpur, Malaysia, APEC menyetujui 9 sektor EVSL dan
mendorong persetujuan atas EVSL dari non-APEC members pada tingkat World
Trade Organization.
7. Pada tahun 1999 di Auckland, New Zealand, anggota APEC menyampaikan
komitmennya untuk melaksanakan paperless trading pada tahun 2005 untuk
developed economies dan tahun 2010 untuk developing economies. Pertemuan
juga menyetujui skema APEC Business Travel Card serta menghasilkan Mutual
Recognition Arrangement on Electrical Equipment dan Framework for the
Integration Women in APEC.
8. Pada tahun 2000 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, APEC
menghasilkan electronic Individual Action Plan (e-IAP) system yang
memungkinkan pemantauan IAP secara online sekaligus meningkatkan akses
internet di kawasan APEC tiga kali lipat hingga tahun 2005.
9. Pada tahun 2001 di Shanghai, Republik Rakyat Cina, APEC mengadopsi Shanghai
Accord, yang terfokus pada perluasan Visi APEC, memperjelas Roadmap to Bogor
dan memperkuat mekanisme implementasi. Pertemuan juga mengadopsi e-APEC
Strategy, yang menentukan agenda untuk memperkuat market structures and
institutions, memfasilitasi investasi infrastruktur dan teknologi untuk transaksi
secara on-line serta mendorong kewirausahaan dan capacity building. Pertemuan
di Shanghai menghasilkan Counter-Terrorism Statement APEC yang pertama dan
merupakan awal pembahasan isu keamanan dalam APEC.
10. Pertemuan pada tahun 2002 di Los Cabos, Meksiko berhasil mengadopsi Trade
Facilitation Action Plan, Policies on Trade and the Digital Economy and
Transparency Standards. Pertemuan menghasilkan pula Counter-Terrorism
Statement yang kedua dan mengadopsi inisiatif Secure Trade in the APEC Region
(STAR)
11. Pada tahun 2003 di Bangkok, Thailand, pertemuan sepakat untuk mendorong
negosiasi WTO Doha Development Agenda (WTO DDA) dan melihat bahwa Free
Trade Agreements, Regional Trade Agreements, Bogor Goals dan sistem
perdagangan multilateral di bawah skema WTO yang pada prinsipnya bersifat
saling komplementer.
12. Pertemuan ke-12 Para Pemimpin Ekonomi APEC yang diselenggarakan di
Santiago, Chile, tanggal 20 – 21 November 2004, telah menghasilkan Deklarasi
para Pemimpin yang berjudul: Santiago Declaration: “One Community, Our
Future”. Sedangkan Pertemuan Tingkat Menteri (APEC Ministerial Meeting/AMM)
telah menghasilkan Joint Ministerial Statement AMM ke-16.
13. Pada tahun 2005 di Busan, Korea Selatan, Para Pemimpin Ekonomi APEC sepakat
untuk meluncurkan ”Busan Roadmap to Bogor Goals”, melakuakan Mid-Term
Stock Take/ evaluasi atas capaian anggota ekonomi APEC dalam merealisasikan
Bogor Goals. Selain itu, para Pemimpin Ekonomi APEC juga mengeluarkan sebuah
pernyataan bersama yang berisi dukungan kuat APEC atas penyelesaian negosiasi
Doha Development Agenda di WTO.
PERKEMBANGAN TERAKHIR APEC
Saat ini ekonomi yang menjadi host APEC adalah Vietnam. Tema yang diambil
untuk penyelenggaraan APEC tahun ini adalah “Towards a Dynamic Community
for Sustainable Development and Prosperity” dengan Sub Tema “Enhancing Trade
and Investment with the Busan Roadmap and Doha Development Agenda,
Strengthening Economic and Technical Cooperation for Gap Bridging and
Sustainable Development, Improving Secure and Favorable Business Environment,
Promoting Community Linkages.”
Sebagai perwujudan tema tersebut, telah ditetapkan 8 prioritas APEC 2006
sebagai berikut:
1. Mendorong kerjasama APEC untuk meningkatkan perdagangan dan investasi,
melalui
· Dukungan APEC terhadap WTO atau Doha Development Agenda (Support for
the WTO DDA)
· Pengimplementasian Busan Roadmap to Bogor Goals
2. Meingkatkan daya saing dari Usaha Kecil dan Menengah
3. Mendorong pemerataan kapasitas antar anggota Ekonomi APEC melalui
pembangunan sumber daya manusia, Kerjasama di bidang IT, dan kemitraan
untuk pembangunan.
4. Meningkatkan human security: Counter terrorism, health security, Disaster
Preparedness dan Energy Security.
5. Mendukung anti korupsi dan transparansi
6. Menghubungkan anggota-anggota Ekonomi APEC melalui pariwisata dan
pertukaran kebudayaan.
7. Mereformasi APEC menjadi organisasi yang lebih dinamis dan efektif.
8. Mendorong komunikasi lintas budaya (Cross-cultural Communication)
KEANGGOTAAN INDONESIA
Indonesia merupakan salah satu negara yang berperan aktif dalam pembentukan
APEC maupun pengembangan kerjasamanya. Keikutsertaan Indonesia dalam
APEC sangat didorong oleh kepentingan Indonesia untuk mengantisipasi dan
mempersiapkan diri dalam menghadapi perdagangan dunia yang bebas sekaligus
mengamankan kepentingan nasional RI. Kontribusi Indonesia terbesar bagi APEC
adalah disepakatinya komitmen bersama yang dikenal juga sebagai ‘Tujuan
Bogor’ (Bogor Goals) yaitu liberalisasi perdagangan dan investasi secara penuh
pada tahun 2010 untuk ekonomi yang sudah maju, dan tahun 2020 untuk
ekonomi berkembang. Komitmen ini menjadi dasar dalam berbagai inisiatif untuk
mendorong percepatan penghapusan tarif perdagangan maupun investasi antar
anggota APEC.
MANFAAT APEC BAGI INDONESIA
1. APEC merupakan forum yang fleksibel untuk membahas isu-isu ekonomi
internasional.
2. APEC merupakan forum konsolidasi menuju era perdagangan terbuka dan sejalan
dengan prinsip perdagangan multilateral
3. Peningkatan peran swasta dan masyarakat Indonesia menuju liberalisasi
perdagangan
Salah satu pilar APEC yaitu fasilitasi perdagangan dan investasi secara langsung
akan memberikan dampak positif bagi dunia usaha di Indonesia yakni kemudahan
arus barang dan jasa dari Indonesia ke anggota APEC lainnya. Beberapa inisiatif
APEC yang memberikan manfaat kepada dunia usaha di Indonesia antara lain
melalui pelaksanaan APEC Business Travel Card (ABTC) serta penyederhanaan
prosedur kepabeanan.
4. Peningkatan Human and Capacity Building
Indonesia dapat memanfaatkan proyek-proyek APEC untuk peningkatan kapasitas
dan peningkatan sumber daya manusia, baik yang disponsori oleh anggota
ekonomi tertentu maupun melalui skema APEC.
5. Sumber peningkatan potensi ekonomi perdagangan dan investasi Indonesia
P e mbentukan APEC telah memberikan manfaat terhadap peningkatan arus
barang, jasa maupun pertumbuhan ekonomi negara anggota APEC. Indonesia
memiliki potensi untuk memanfaatkan potensi pasar APEC bagi peningkatan
ekspor maupun arus investasi, khususnya karena mitra dagang utama Indonesia
sebagian besar berasal dari kawasan APEC.
6. APEC sebagai forum untuk bertukar pengalaman
Forum APEC yang pada umumnya berbentuk “policy dialogue” memiliki manfaat
yang sangat besar terutama untuk menarik pelajaran dan pengalaman positif
maupun negatif (best practices) anggota APEC lainnya dalam hal pengambilan
dan pembuatan kebijakan liberalisasi perdagangan dan investasi.
7. Memproyeksikan kepentingan-kepentingan Indonesia dalam konteks ekonomi
internasional
8. APEC merupakan salah satu forum yang memungkinkan Indonesia untuk
memproyeksikan kepentingan-kepentingannya dan mengamankan posisinya
dalam tata hubungan ekonomi internasional yang bebas dan terbuka.

Disusun Oleh :

Asido Simarmata ( 31208553 )

Ref :
www.google.com
gunadarma book



Di blog ini saya ini berbagi Informasi mengenai Perekonomian Indonesia, bersama-sama dengan seluruh negara di dunia, saat ini sedang berada ditengah-tengah “badai”. saya sebagai warga Indonesia khusus nya sangat prihatin dengan kejadian menimpa perekonomian Indonesia.Hal itu secara kasat mata dapat dilihat dari mengetatnya kredit perbankan dan munculnya berbagai sumbatan arus likuiditas, utamanya likuiditas devisa (bukan likuiditas rupiah). Kedua permasalahan tersebut sebenarnya sudah semakin melonggar karena adanya berbagai kebijakan yang telah diambil oleh negara-negara hampir secara bersamaan dalam konteks untuk memperbaiki arus likuditas devisa, terutama karena sudah banyak devisa yang telah “kembali ke kandangnya”. Hal lain yang lebih penting untuk diperhatikan adalah dampak lanjutan dari badai tersebut pada sektor riil. Resesi ini diperkirkan akan terjadi sangat serius, dalam dan panjang, sampai 2-3 tahun kedepan. Pada masa itu perekonomian global akan melambat bahkan beberapa negara utama akan memiliki pertumbuhan yang negatif. Oleh karena itu dibutuhkan antisipasi dari dalam negeri terhadap berbagai dampak yang bakal terjadi di kemudian hari.

Krisis keuangan di Amerika dimulai ketika Presiden Bush meluncurkan kredit sub-prime, yaitu kredit dengan syarat yang sangat longgar, berupa pinjaman kredit perumahan, kartu kredit dan kredit mobil kepada kelompok yang disebut NINJA (no income, no job and asset) yang jumlahnya sekitar 81 persen terdiri dari warga Amerika keturunan Hispanik dan Afrika, dimana keseluruhan kredit tersebut dijamin oleh Fannie Mae and Freddie Mac. Pada perkembangannya mortgage loan tersebut disekuritisasi dalam bentuk MBS di sektor manufaktur dan dinilai oleh rating agency tanpa pernah tahu apakah mortgage tadi merupakan produk yang berasal dari prime atau sub-prime. Demikian pula halnya ketika mortgage tersebut diperjualbelikan oleh private wealth management dan dibeli oleh investor di seluruh dunia.

Hal ini menciptakan komplikasi karena panjangnya distribution channel dan adanya ke-tidaktransparan-an yang telah diciptakan oleh para financial engineer yang mampu membuat kondisi seolah-olah “tidak ada resiko” pada produk tersebut dengan cara spread the risk. Begitu “hebatnya” para financial engineer di Wall Street, hingga mampu mentrasform surat hutang berisiko tinggi (dalam hal ini MBS) menjadi CDOs dengan rating investasi AAA atau Aaa sehingga menggiurkan para investor. Kondisi ini disebut sebagai senyawa keuangan atau financial alchemy.

Ketika pasar dalam keadaan tertekan, dimana harga perumahan mulai turun (hingga 20% di Amerika), tingkat pendapatan juga turun (stagnasi) dan suku bunga akan tinggi (naik) maka akan tercipta wealth destruction yang memungkinkan terjadinya resesi. Hasil akhir dari ini adalah ekuitas perumahan tergerus dan pembayaran hutang lewat refinancing tidak mungkin dilakukan lagi karena peminjam mengalami kesulitan untuk membayar cicilan.


Ketika perekonomian dunia sedang mencari keseimbangan yang baru, maka nilai tukar juga akan mencari keseimbangan barunya, begitu pula halnya dengan neraca pembayaran. Karena liquidity squeeze yang dialami perbankan dalam negeri begitu besar, kebijakan yang lebih mengacu pada inflasi harus dibarengi dengan kebijakan liquidity management di bidang perbankan dan capital market. Kapasitas bank sentral dalam menentukan arah kebijakan moneter sudah ditempuh dengan berbagai macam cara, seperti penurunan biaya REPO sehingga cost of borrowing ke bank sentral akan menurun; perluasan eligible asset pada kredit yang memiliki klasifikasi bagus sehingga bisa diagunkan kembali ke bank sentral; revisi giro wajib minimum (GWM) agar ketetatan likuiditas perbankan baik dalam rupiah maupun valas bisa ditangani; dan pembelian surat berharga pemerintah.


Dampak krisis global telah menyebabkan kompetisi untuk merebut kapital di pasar modal mengakibatkan kenaikan suku bunga dan berbuntut pada kenaikan biaya modal, padahal likuiditas USD di pasar modal mulai ketat. Hal ini akan menyebabkan yield curve obligasi negara yang semakin tinggi ditengah-tengah depresiasi rupiah maka refinancing pemerintah (APBN) maupun swasta menjadi semakin mahal dan sulit. Pada saat yang bersamaan trade financing menjadi sulit dan mahal sehingga ekspor cenderung menurun dan tekanan impor meningkat, serta sektor riil terganggu sehingga terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi.

Diperlukan langkah nyata untuk menjaga sustainabilitas APBN 2009. Beberapa langkah defensive yang dapat dilakukan adalah penghematan belanja untuk kegiatan yang bukan prioritas dan kurang penting, realokasi belanja pemerintah pusat dan daerah (jika diperlukan), Menyempurnakan pernyataan status dan kondisi keadaan darurat untuk diberlakukan emergency lending dalam UU APBN 2009, peningkatan dana risiko fiskal untuk mengatasi deviasi asumsi ekonomi makro, target pertumbuhan penerimaan pajak yang lebih rendah, dan penurunan defisit APBN menjadi 1% PDB dengan sumber pembiayaan dari pasar dengan porsi yang lebih kecil.


Untuk itu strategi pembiayaan melalui utang yang dapat dilakukan pada tahun 2009 harus mengacu pada beberapa ketentuan bahwa permintaan terhadap SBN 2009 akan lebih rendah akibat penurunan minat investor, dan dimungkinkan adanya alternatif pembiayaan dari lembaga-lembaga multilateral dan investor institusi. Oleh karena itu koordinasi antara Pemerintah dan BI harus terus ditingkatkan untuk menjaga stabilitas makro


Sebab Akibat krisis global Terhadap Dunia Dan Indonesia :

1.Apa penyebab kebangkrutan bank-bank/perusahaan di Amerika Serikat?
2.Mengapa IHSG mengalami penurunan?
3.Mengapa nilai Rupiah terdepresiasi?
4.Mengapa harga komoditi ekspor turun (sawit, karet, dsb)?



Perusahaan-perusahaan raksasa Amerika bertumbangan. Pemerintah terpaksa menyiapkan dana talangan 700 milyar dollar. Semuanya akibat sistem kapitalisme liberal sebagaimana halnya di Indonesia.

Apa sesungguhnya yang terjadi? Krisis ini bermula dari macetnya kredit perumahan di Amerika karena ternyata para pemilik rumah memang tak mampu membayar cicilan kredit. Kemacetan itu merembet ke mana-mana, terutama menimbulkan krisis keuangan di Amerika, dan kemudian berdampak ke berbagai belahan dunia.

Di Amerika, krisis ini menyebabkan harga rumah turun sampai 16%, angka pengangguran meningkat bersama meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan-perusahaan yang terguncang krisis. Penjualan rumah macet.

Maka berbagai lembaga keuangan raksasa yang bangkrut, seperti disebut di atas, umumnya adalah perusahaan yang terlibat dalam pemberian kredit, penjaminan kredit, dan asuransi kredit perumahan subprime mortgage.

Tapi ketika Maret 2008, The Fed membantu Bear Stearns, bank investasi di Wall Street, 29 milyar dollar, untuk kemudian dikawinkan dengan JP Morgan, banyak pengamat yang meramalkan krisis telah berakhir. Alasannya, meski rendah, toh buktinya ekonomi Amerika masih terus tumbuh.

Sampai 6 bulan kemudian, September 2008, Fanny Mae dan Freddie Mac tersungkur dan harus disuntik 200 milyar dollar. Lalu disusul bankrutnya Lehman Brothers dan sejumlah raksasa lainnya. Oleh karena itu tampaknya sekarang tak ada ahli yang berani meramalkan sampai kapan krisis ini berakhir.

Meski pemerintah akan memborong saham bermasalah itu, seperti ditulis Profesor Paul Krugman, pengajar ekonomi Princeton University di The New York Times, 19 September lalu, “Pertanyaannya, apakah itu dilakukan dengan benar?’’. Yang pasti, krisis ini sudah berlangsung setahun lebih dan Krugman menyebutnya sebagai slo-mo crisis alias krisis dengan gerak lambat (slow motion).

Nouriel Roubini, ekonom dari Stern School of Business, New York University, menunjuk Jepang yang sudah 10 tahun mengalami stagnasi ekonomi, bisa dijadikan contoh untuk menarik banyak pelajaran. Maka kata Roubini, “Kereta api resesi sudah meninggalkan stasiun, tapi ia bisa berjalan satu setengah tahun atau bisa juga lima tahun.’’

Dampak yang ditimbulkannya juga terus menggelembung. Pada Juli 2007, Ketua The Fed, Ben Bernanke, menghitung krisis ini akan menimbulkan kerugian tak sampai 100 milyar dollar. Nyatanya sekarang dibutuhkan dana 700 milyar dollar untuk menjamin kredit macet (bad debt). Beberapa ahli meramalkan jumlah itu akan membengkak menjadi 1 triliun dollar atau lebih.

Apa yang terjadi di Amerika ini menjadi pelajaran berharga. Inilah bukti bahwa sistem kapitalisme laissez-faire yang liberal itu selalu menyebabkan krisis, mulai krisis ekonomi terparah di tahun 1929, sampai krisis lainnya, dan terakhir krisis subprime mortgage ini.

Para ahli sepakat sekarang bahwa krisis ini disebabkan tak adanya regulasi yang mengatur pasar saham Wall Street. Di dalam ideologi kapitalisme liberal, regulasi adalah barang haram. Oleh karena itu mantera yang harus terus diamalkan adalah deregulasi.


Dan itu dilaksanakan di Amerika sejak pemerintahan Presiden Ronald Reagan, di tahun 1980-an. Reagan menggunakan sistem kapitalisme untuk menghadapi sistem ekonomi terpusat dari komunisme, musuh Amerika dan Barat dalam Perang Dingin pada waktu itu.

Di zaman Presiden Clinton, misalnya, regulasi yang sudah ada sejak Great Depression, yang melarang bank komersial memperluas aktivitasnya dalam berbagai kegiatan finansil lain seperti investasi dan asuransi, dideregulasi alias dinyatakan tak berlaku. Apalagi ketika Alan Greenspan menjadi pemimpin The Fed, deregulasi demi deregulasi dilakukan. Sehingga iklim di sekitar pasar keuangan dan modal Amerika memang sangat bebas. Alan Greenspan pun dipuji-puji setinggi langit, termasuk oleh koran-koran utama di Indonesia.

Dalam sistem kredit perumahan, misalnya, kredit diberikan kepada orang di luar kemampuannya. Dan itu banyak sekali terjadi. Maka ketika tiba waktunya, terang saja pembayaran kredit itu macet. Parahnya kredit-kredit macet itu bisa menjadi surat berharga – obligasi, bond, surat utang, dan sebagainya – dengan nilai tinggi. Ia terjual laris-manis ke mana-mana ke seluruh dunia.

Maka dalam editorial 20 September lalu, koran terkemuka Amerika, The New York Times dengan sangat keras mengecam sistem kapitalisme liberal yang ditrapkan pemerintahan Presiden Bush sebagai sumber malapetaka ini. Menurut editorial itu, rakyat Amerika harus diberi tahu kebenaran yang fundamental bahwa krisis yang sekarang menerpa Amerika terjadi sebagai hasil sebuah kesengajaan dan kegagalan sistematik dari pemerintah untuk mengatur dan memonitor aktivitas bankir, kreditor, pengelola dana (hedge funds), asuransi dan pemain pasar lainnya.

Kegagalan pengaturan itu, pada masanya, didasari pada kepercayaan suci dari pemerintahan Bush bahwa pasar dengan tangan silumannya bekerja dengan sangat baik ketika ia dibiarkan sendiri, mengatur dirinya sendiri, mengawasi dirinya sendiri. ‘’Negeri ini sekarang harus membayar mahal harga khayalan itu,’’ tulis editorial tersebut.

Maka berbagai penjaminan, penalangan, yang sekarang dilakukan pemerintah, menurut editorial tersebut, hanya langkah pertama. Setelah itu, yang harus dilakukan adalah bekerja keras untuk membuat regulasi yang dibutuhkan oleh sebuah sistem keuangan yang terpercaya.



Pembukaan Perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) Kamis (16/10) melemah 76, 49 point atu 5,03% ke posisi 1443, 92. Sedang rupiah berada di kisaran 9.800 per dolar Amerika.

Pengamat Pasar Modal, Irwan Ibrahin pagi ini menyebutkan, penyebab lemahnya IHSG karena masih adanya kekhawatiran investor asing, terutama apabila Grup Bumi Resources (Grup Bakrie) akan dibuka suspensinya minggu depan.

Selain itu harga minyak mentah dunia, CPO timah, nikel maupun harga emas dijelaskan Irwan trendnya turun karena tidak adanya likuiditas lagi di pasar seiring dengan kekhawatiran ancaman resesi global dimana kegiatan ekonomi akan sangat rendah sekali.

Apalagi di Amerika sendiri atau Eropa program bailout belum terlihat ukuran suksesnya, meskipun Presiden Bush rencananya akan mengucurkan dana ke market belum terlihat. Sedangkan di dalam negeri sendiri rencana buy back saham BUMN belum terlihat di market

Apabila Group Bakrie akan buka dimungkinkan posisi tekanan jual akan semakin kencang dan menyeret saham-saham lainnya.

Penurunan IHSG beberapa minggu belakangan ini sudah menunjukkan gejala-gejala yang mengkhawatirkan, Itu disebabkan antara lain :

1. Terjadi Net sell dari investor asing yang besar besaran.
2. Turunnya harga minyak bumi ( komoditas).
3. Banyaknya IPO. Telah menyedot dana dari bursa yang mulai mengering,
4. Agresifnya KPPU, membuat Investor besar ragu masuk ke Pasar Modal.
5. Aturan Tender Offer baru yang dibuat buat (tdk masuk akal) dan berlaku surut telah merugikan banyak pihak dan mendistorsi pasar.

Sebelum situasi Pasar Modal ini mengganggu sektor ekonomi yang lain, seperti Reksadana dll. Diharapkan yang berwenang, dalam hal ini Menkeu agar bersedia menunjukkan perhatiannya.


Keinginan pemerintah mengajukan revisi Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2009, dinilai sebagai langkah tepat ditengah melemahnya ekonomi dunia akibat pengaruh krisis keuangan AS.

Asumsi RAPBN 2009 memang perlu diubah dan disesuaikan dengan kecenderungan global. Perekonomian dunia akan mengalami perlambatan pertumbuhan. Laju pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat akibat merosotnya permintaan atau investasi baru. Selain itu, laju inflasi 2009 masih tinggi akibat dampak krisis finansial global. Karena itu, RAPBN harus beradaptasi dengan kecenderungan global itu. Dan krisis finansial global akan menekan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah 6 persen.

Selain itu, nilai tukar rupiah juga akan terdepresiasi terhadap dolar hingga di atas 9.700 per dolar AS, dan inflasi pun akan meningkat. Rupiah akan tetap berada di atas 9.500 karena masih ada gap inflasi 7% antara AS dengan Indonesia sehingga rupiah harus terdepresiasi.

Namun dengan begitu suku bunga acuan BI Rate tidak perlu dinaikkan lagi. BI bisa melakukan penurunan 0,5% pada Oktober, hingga akhir tahun mencapai 9,5%. Tahun 2009, BI Rate bisa mulai diturunkan secara perlahan dan pertumbuhan kredit harus ditekan karena sudah terlampau besar.






Anjloknya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Indoensia dipengaruhi oleh krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat. Selain itu, harga TBS juga terpengaruh oleh turunnya harga minyak dunia.

Karena krisis itu, terjadi likuiditas (peredaran uang kontan semakin ketat). Akibatnya, permintaan menurun dan tentu berakibat pembelian juga menurun. Dan eksport TBS Indonesia terjadi pengurangan (walau tidak terlalu tajam). Ini kemudian berimbas kepada petani.

Amerika Serikat sendiri sedang berada di ambang kehancuran financial sebagai imbas dari krisis ekonomi. Ini terjadi karena banyak saham-saham yang menjadi maskot Wall Street berguguran. Apalagi perusahaan sekelas Lehman brothers dan Washington Mutual menyatakan kebangkrutan. Belum lagi raksasa Asuransi AIG, sahamnya turun hingga 50 persen.

Nah, efek dari krisis ekonomi dan finansial di USA telah merambat ke negara-negara di Asia dan Eropa. Banyak negara yang memberikan suntikan dana kepada lembaga keuangan supaya tidak tergerus arus krisis ekonomi yang berasal dari Amerika Serikat.

Jadi langkah-langkah yang harus dilakukan pemerintah yaitu memberikan kredit lunak kepada petani sawit, atau memberikan pupuk gratis, atau mensubsidi petani. Pokoknya pemerintah harus memikirkan langkah-langkah yang tepat.

Dibawah ini adalah Gambar tabel Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Paska Krisis Ekonomi yang saya kutip dari Sumber Siaran Pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 5 Januari 2009 :


Dari uraian diatas dapat saya simpulkan bahwa Pemerintahan SBY-Boediono yakon dapat bangkit dari ketrpurukan krisis Ekonomi yang menimpa negara Indonesia.Dan saya jg mengutip wawancara Menko Sri Mulyani menjelaskan bahwa selain berbagai program dan alokasi anggaran yang sudah memperoleh persetujuan DPR-RI melalui Undang-undang APBN 2009 Pemerintah masih akan memfinalkan program dan alokasi anggaran memanfaatkan sebagian SILPA APBN 2008. Hal itu akan dilakukan dalam waktu dekat dengan melibatkan berbagai stakeholders terkait dan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, sehingga kebijakan yang dilaksanakan akan tepat arah dan efektif.


Disusun oleh :

Asido Simarmata ( 31208553 )

Refrensi :

Ekonomi Pembangunan dan Pembangunan Ekonomi di Indonesia

Evolusi Makna Pembangunan

Pandangan tradisional beranggapan yang membedakan antara negara maju dengan Negara Sedang Berkembang (NSB) adalah pendapatan rakyatnya. Dengan ditingkatkannya pendapatan per kapita diharapkan masalah-masalah, seperti pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan distribusi pendapatan yang dihadapi NSB dapat terpecahkan, misalkan melalui apa yang dikenal dengan “dampak merembes ke bawah” (trickle down effect). Indikator berhasil tidaknya pembangunan semata-mata dilihat dari meningkatnya pendapatan nasional (GNP) per kapita riel, dalam arti tingkat pertumbuhan pendapatan nasional harus lebih tinggi dibanding tingkat pertumbuhan penduduk. Kecenderungan di atas terlihat dari pemikiran-pemikiran awal mengenai pembangunan, seperti teori Harrod Domar, Arthur Lewis, WW Rostow, Hirschman, Rosenstein Rodan, Nurkse, Leibenstein.

Perkembangan selanjutnya, banyak NSB mulai menyadari bahwa “pertumbuhan” (growth) tidak identik dengan “pembangunan” (development). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setidaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan mereka, memang dapat dicapai, namun dibarengi dengan masalah-masalah, seperti pengangguran, kemiskinan di pedesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan struktural.

Inilah yang menandai dimulainya masa pengkajian ulang tentang arti pembangunan. Maka, muncul paradigma baru dalam pembangunan seperti pertumbuhan dengan distribusi, kebutuhan pokok (basic needs), pembangunan mandiri (self-reliant development), pembangunan berkelanjutan dengan perhatian terhadap alam (ecodevelopment), pembangunan yang memperhatikan ketimpangan pendapatan menurut etnis (ethnodevelopment).

Indikator Pembangunan

Indikator pembangunan diperlukan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pembangunan yang dilakukan berdasarkan ukuran-ukuran tertentu. Indikator-indikator kunci pembangunan secara garis besar pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi (1) indikator ekonomi; (2) indikator sosial. Sedangkan yang termasuk sebagai indikator ekonomi adalah GNP (GNI) per kapita, laju pertumbuhan ekonomi, GDP per kapita dengan Purchasing Power Parity, sedangkan yang termasuk indikator sosial adalah Human Development Index (HDI) dan PQLI (Physical Quality Life Index) atau Indeks Mutu Hidup.

Untuk tujuan operasional dan analitikal, kriteria utama Bank Dunia dalam mengklasifikasikan kinerja perekonomian suatu negara adalah Gross National Income (GNI) atau Produk Nasional Bruto (PNB) per kapita yang merupakan pendapatan nasional bruto dibagi jumlah populasi penduduk. Bank Dunia (2003) mengklasifikasikan negara berdasarkan tingkatan GNI per kapitanya, yaitu (1) negara berpenghasilan rendah (low-income economies), (2) negara berpenghasilan menengah (middle-income economies). Dalam kelompok negara berpenghasilan menengah dapat dibagi menjadi negara berpenghasilan menengah papan bawah (lower-middle-income economies) dan negara berpenghasilan menengah papan atas (upper-middle-income economies), (3) negara berpenghasilan tinggi (high-income economies), (4) dunia (world) meliputi semua negara di dunia, termasuk negara-negara yang datanya langka dan dengan penduduk lebih dari 30.000 jiwa.

Jenis-jenis Kemiskinan dan Indikatornya

Kemiskinan tidak hanya menjadi permasalahan bagi negara berkembang, bahkan negara-negara maju pun mengalami kemiskinan walaupun tidak sebesar negara Dunia Ketiga. Secara umum, jenis-jenis kemiskinan dapat dibagi menjadi dua, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Pertama, kemiskinan absolut, di mana dengan pendekatan ini diidentifikasi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan tertentu. Kedua, kemiskinan relatif, yaitu pangsa pendapatan nasional yang diterima oleh masing-masing golongan pendapatan. Berbeda dengan kemiskinan absolut, kemiskinan relatif bersifat dinamis dan tergantung di mana seseorang tinggal.

Untuk lebih mengetahui secara pasti tingkat kemiskinan suatu masyarakat maka diciptakan indikator kemiskinan atau garis kemiskinan. Di Indonesia, garis kemiskinan BPS menggunakan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) dan pendekatan Head Count Index. Selain itu, terdapat garis kemiskinan lainnya, yaitu garis kemiskinan Sajogyo dan garis kemiskinan Esmara. Sajogyo mendefinisikan batas garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang sama dengan beras. Kelemahan dari metode ini adalah hanya menggunakan acuan satu harga komoditi dan porsinya dalam anggaran keluarga, bahkan dalam keluarga miskin, menurun secara cepat. Berdasarkan kelemahan tersebut Esmara mencoba untuk menetapkan suatu garis kemiskinan pedesaan dan perkotaan yang dipandang dari sudut pengeluaran aktual pada sekelompok barang dan jasa esensial, seperti yang diungkapkan secara berturut-turut dalam Susenas.


Penyebab Kemiskinan

Kemiskinan, menurut Sharp et al., dapat disebabkan oleh ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya, perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia dan disebabkan oleh perbedaan akses dalam modal. Sedangkan lingkaran setan kemiskinan versi Nurkse sangat relevan dalam menjelaskan fenomena kemiskinan yang terjadi di negara-negara terbelakang. Menurutnya negara miskin itu miskin karena dia miskin (a poor country is poor because it is poor).

Menurut Thorbecke, kemiskinan dapat lebih cepat tumbuh di perkotaan dibandingkan dengan perdesaan karena, pertama, krisis cenderung memberi pengaruh terburuk kepada beberapa sektor ekonomi utama di wilayah perkotaan, seperti konstruksi, perdagangan dan perbankan yang membawa dampak negatif terhadap pengangguran di perkotaan; kedua, penduduk pedesaan dapat memenuhi tingkat subsistensi dari produksi mereka sendiri. Hasil studi atas 100 desa yang dilakukan oleh SMERU Research Institute memperlihatkan bahwa pertumbuhan belum tentu dapat menanggulangi kemiskinan, namun perlu pertumbuhan yang keberlanjutan dan distribusi yang lebih merata serta kemudahan akses bagi rakyat miskin.

Strategi Penanggulangan Kemiskinan

Strategi penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Di Jepang, solusi yang diterapkan adalah dengan menerapkan pajak langsung yang progresif atas tanah dan terbatas pada rumah tangga petani pada lapisan pendapatan yang tinggi, sedangkan Cina melakukannya melalui pembentukan kerangka kelembagaan perdesaan dengan kerja sama kelompok dan brigades di tingkat daerah yang paling rendah (communes). Di sisi lain, solusi pemberantasan kemiskinan di Taiwan melalui mobilisasi sumber daya dari sektor pertanian dengan mengandalkan mekanisme pasar.

Selain strategi di atas, ada juga Model Pertumbuhan Berbasis Teknologi atau Rural-Led Development yang menyoroti potensi pesatnya pertumbuhan dalam sektor pertanian yang dibuka dengan kemajuan teknologi dan kemungkinan sektor pertanian menjadi sektor yang memimpin.

Di Indonesia, salah satu strategi penanggulangan kemiskinan ditempuh melalui pemberdayaan partisipatif masyarakat melalui P2KP. Sasaran dari program ini adalah kaum miskin perkotaan yang sangat rentan terhadap krisis dibandingkan dengan masyarakat perdesaan.

Pertumbuhan versus Pemerataan

Pada beberapa kasus memang dijumpai adanya studi empiris yang mendukung hipotesis kurva U terbalik (hipotesis Kuznets), namun hal ini perlu disikapi hati-hati tergantung dari jenis data yang dipakai, apakah data silang atau runut waktu. Hal ini penting karena keduanya memberikan kesimpulan yang berbeda.

Ketimpangan Distribusi Pendapatan: Indikator dan Trend

Pada umumnya ada 3 macam indikator distribusi pendapatan yang sering digunakan dalam penelitian. Pertama, indikator distribusi pendapatan perorangan. Kedua, kurva Lorenz. Ketiga, koefisien gini. Masing-masing indikator tersebut mempunyai relasi satu sama lainnya. Semakin jauh kurva Lorenz dari garis diagonal maka semakin besar ketimpangan distribusi pendapatannya. Begitu juga sebaliknya, semakin berimpit kurva Lorenz dengan garis diagonal, semakin merata distribusi pendapatan. Sedangkan untuk koefisien gini, semakin kecil nilainya, menunjukkan distribusi yang lebih merata. Demikian juga sebaliknya.

Studi empiris menunjukkan bahwa bentuk kurva Lorenz untuk kasus negara berkembang pada umumnya semakin menjauhi dibandingkan dengan negara maju. Apabila dilihat koefisien gini, negara maju mempunyai nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan negara berkembang.

Masalah Dualisme Pembangunan

Industrialisasi di dunia sangat erat kaitannya dengan revolusi industri yang terjadi di Inggris pada abad ke-18. Revolusi industri yang terjadi di negara maju ternyata mendorong negara-negara lain untuk bereaksi dengan 2 cara. Pertama, berusaha untuk meniru model revolusi industri. Kedua dengan melakukan kontak dagang. Usaha untuk meniru tersebut banyak dilakukan oleh negara-negara di kawasan Amerika Utara dan Eropa Barat. Hal tersebut menjadi titik tolak mulainya pembagian dunia menjadi negara industri dan nonindustri. Revolusi industri menyebar dengan cepat di negara-negara yang melakukan revolusi pertanian khususnya di Eropa Barat dan Amerika Utara, sedangkan di negara dengan produktivitas pertanian yang rendah, seperti Eropa Tengah dan Eropa Selatan atau Amerika Latin dan Cina kemajuan industrinya berjalan relatif lambat.

Teori dualisme Boeke amat populer pada pertengahan 1950-an karena menerangkan mengapa perekonomian daerah jajahan (Eastern/Colonial Economy) amat berbeda secara fundamental dengan perekonomian negara-negara Barat yang berdasarkan mekanisme pasar. Oleh karena itu, Boeke berpendapat bahwa teori ekonomi konvensional dari Barat jelas tidak dapat diterapkan di negara-negara Timur. Ia mengusulkan perlunya disusun teori dengan kerangka yang sama sekali baru. Teori “baru” ini jelas lebih kompleks karena harus memperhitungkan kondisi dualistik dengan 2 sistem sosial yang berbeda, saling mempengaruhi, dan saling berbenturan.

Meskipun banyak kritikus Belanda yang mengkaji seluruh ataupun sebagian teori Boeke bertahun-tahun sejak Perang Dunia II, namun boleh dikatakan tidak ada pemikiran yang muncul menentang Boeke (Mackie, 1980). Boeke tetap merupakan ilmuwan yang berpengaruh dari tahun 1929 hingga kematiannya pada tahun 1956. Kritik yang paling gencar terhadap teori Boeke datang dari Benjamin Higgins (1955). Kritik yang lain datang dari Sadli (1957) dan Mackie (1980).

Dualisme vs Segmentasi Pasar

Studi yang dilakukan oleh Chris Manning, Hal Hill, Ross McLeod, dan Howard Dick menunjukkan bahwa struktur ekonomi Indonesia bukan dualisme, melainkan mengandung banyak segmentasi pasar. Keempat pakar ini memberikan kontribusi yang amat berharga terhadap pemahaman mengenai struktur ekonomi mikro Indonesia.

Studi Hal Hill (1980) agaknya lebih condong mendukung adanya dualisme teknologi, bukan dualisme sosial, yang dilontarkan oleh Higgins. Hill menunjukkan relevansi konsep dualisme teknologi dalam industri tenun Indonesia. Kendati demikian, Hill menunjukkan bahwa konsep dualisme teknologi kurang tepat diterapkan dalam kasus industri tenun Indonesia. Ia melihat dualisme teknologi memiliki relevansi untuk industri pemintalan Indonesia.

Manning mencatat terdapat banyak perbedaan upah dan praktik-praktik di pasar tenaga kerja di berbagai segmen industri manufaktur Indonesia. Berbeda dengan dikotomi prakapitalis-kapitalis versi Boeke, ia menekankan yang terjadi di pasar tenaga kerja bukan dualisme melainkan diferensiasi akibat perbedaan teknologi.

McLeod mendefinisikan dualisme sebagai koeksistensi yang berlanjut antara sektor “modern” dan “tradisional” dalam ekonomi domestik NSB. Dalam sektor keuangan, dualisme finansial terjadi antara pasar uang formal dan pasar uang informal. McLeod mengidentifikasi perbedaan utama dalam pasar keuangan sebagai perbedaan harga, perbedaan dalam jenis peminjam, dan perbedaan dalam lokasi geografis.

Dick menyimpulkan bahwa kondisi dualisme yang tidak berubah hanyalah ilusi. Ia mencatat adanya 3 gelombang teknologi baru yang melanda kepulauan Indonesia dalam teknologi alat pelayaran yang mengakibatkan adanya dualisme teknologi.

Kependudukan dan Pengangguran

Strategi pembangunan berdimensi manusia menawarkan konsep yang lebih luas dan menyeluruh yang meliputi semua pilihan-pilihan kebutuhan manusia pada semua tingkatan masyarakat dan semua tahapan pembangunan. Konsep ini meletakkan pembangunan di sekitar manusia, bukan manusia di sekitar pembangunan. Elemen penting dari pembangunan manusia adalah tersedianya pilihan-pilihan bagi masyarakat untuk dapat hidup sehat dan panjang umur, memperoleh pendidikan, dan memperoleh akses bagi sumber daya yang diperlukan untuk standar hidup yang layak, dan memperoleh kebebasan politik sebagai warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan bernegara.

Besarnya investasi suatu negara dalam pembangunan manusia yang terlihat dalam proporsi pengeluaran publik untuk sektor pendidikan dan kesehatan dalam anggaran belanja negaranya dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana sebuah negara memperhatikan pembangunan manusianya.

Pada tahun 2000 penduduk Indonesia berada pada tahap transisi antara penduduk muda menjadi penduduk tua. Hasil pembangunan di bidang kependudukan di Indonesia terlihat dari perubahan komposisi penduduk menurut umur yang tercermin dari semakin rendahnya proporsi penduduk tidak produktif dan semakin rendahnya angka beban tanggungan.

Proporsi penduduk usia kerja dalam angkatan kerja mengalami peningkatan pada tahun 1999-2001. TPAK di Indonesia menunjukkan jumlah yang lebih tinggi di daerah perdesaan dibandingkan di perkotaan karena tingkat partisipasi sekolah untuk SLTP dan SLTA lebih tinggi di daerah perkotaan.

Wanita dalam Pembangunan

Kesenjangan gender yang terjadi di negara berkembang disebabkan oleh adanya norma sosial yang mempengaruhi pilihan-pilihan dan perilaku rumah tangga dan faktor lembaga legal formal yang mempengaruhi kegiatan ekonominya

Salah satu indikator integrasi wanita dalam pembangunan adalah akses terhadap pendidikan dalam hal ini digunakan ukuran tingkat partisipasi sekolah yang menunjukkan seberapa banyak penduduk usia sekolah yang telah memanfaatkan fasilitas pendidikan yang ada.

Perbandingan antara indeks pembangunan yang berhubungan dengan gender (GDI) dan indeks pembangunan manusia (HDI) dapat digunakan untuk melihat seberapa besar kesenjangan gender (gender disparity) di suatu daerah.

Migrasi

Urbanisasi secara luas didefinisikan dengan perpindahan penduduk desa yang menuju kota sehingga mengakibatkan semakin besarnya proporsi penduduk yang tinggal di perkotaan. Tingkat urbanisasi di Indonesia cenderung terus meningkat dari waktu ke waktu. Perkembangan kota yang lebih cepat mengakibatkan terjadinya urbanisasi yang bersifat prematur. Artinya, urbanisasi desa kota terjadi sebelum industri di kota mampu berdiri sendiri. Migrasi dari desa ke kota ini diyakini merupakan faktor utama penyumbang pertumbuhan kota.

Alasan orang untuk melakukan migrasi, menurut Survei Penduduk Antarsensus (SUPAS) 1995 adalah (1) perubahan status perkawinan dan ikut saudara kandung/famili lain sebesar, (2) karena pekerjaan sebesar, (3) karena pendidikan sebesar, (4) karena perumahan, dan (5) lain-lain.

Pendatang baru di kota karena tidak memperoleh pekerjaan mencoba mengadu nasibnya dengan berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi kota sebagai self employment yang akhir akhir ini dikenal sebagai sektor informal.

Posisi dan Kondisi Hutang Dunia

Utang menjadi fenomena umum bagi negara-negara berkembang. Namun demikian, dalam kenyataannya negara-negara maju pun juga mempunyai utang luar negeri yang tidak kalah banyaknya dengan negara dunia ketiga. Salah satu faktor yang membedakan antara keduanya adalah sering kali negara berkembang tidak mampu mengelola utang secara profesional. Hal ini menyebabkan utang yang semula digunakan untuk membiayai pembangunan beralih menjadi beban pembangunan.

Secara umum, alasan mengapa negara berkembang harus berutang adalah tingkat tabungan dalam negeri yang rendah sehingga harus mencari dana lain untuk membiayai investasi dan minimnya persediaan devisa untuk mengimpor barang-barang, seperti mesin-mesin pabrik atau bahan baku. Hal tersebut berkaitan erat dengan Likuiditas Nasional, yaitu ketersediaan baik mata uang lokal maupun asing untuk kebutuhan pembayaran impor ataupun membayar utang. Atas dasar inilah muncul konsep Guidotti Rule bahwa setidaknya negara dapat dikatakan “aman” apabila mempunyai persediaan devisa yang cukup untuk kebutuhan pembiayaan satu tahun ke depan.

Timbulnya Krisis Utang

Beban utang yang berlebihan apalagi bila dikelola dengan buruk, dapat menjerumuskan negara ke dalam krisis. Hal ini sudah ditunjukkan dengan fenomena krisis baik yang terjadi di Amerika Latin maupun di Asia. Dilihat dari faktor penyebabnya, Faktor penyebabnya bukan semata-mata negara peminjam tetapi juga disebabkan dari aspek internasional. Misalnya, saja kekurang hati-hatian bank internasional dalam memberikan dana pinjaman ke negara berkembang.

Sering kali krisis utang disertai dengan pelarian modal ke luar negeri (capital flight) sehingga makin memperburuk perekonomian negara tersebut. Capital flight menyebabkan turunnya investasi dalam negeri, yang berakibat pada rendahnya output nasional. Rendahnya output nasional berakibat meningkatnya tingkat DSR. Tingginya tingkat DSR menimbulkan adanya spekulasi yang mendorong adanya modal yang mengalir ke luar negeri. Demikian seterusnya sehingga proses yang berjalan merupakan vicious circle.

Setidaknya terdapat lima dampak negatif dari beban utang luar negeri bagi negara tersebut, yaitu pertama, menimbulkan efek negatif terhadap tingkat tabungan di dalam negeri (domestic saving rate); kedua, mempertahankan overvalued currency sehingga mempermudah impor untuk tujuan-tujuan yang tidak produktif; ketiga, sebagian besar dana utang luar negeri sektor pemerintah dibelanjakan di negara pemberi utang, bukan di negara penerima utang; keempat, pembayaran cicilan dan bunga utang luar negeri jelas mengalihkan dana yang dapat digunakan sebagai investasi domestik; dan kelima, membuat pemerintah negara berkembang pengutang besar untuk mengintensifkan penerimaan pajak sehingga dapat menyebabkan kondisi investasi yang tidak kondusif dan pelarian modal ke luar negeri (capital flight).

Solusi Krisis Utang

Krisis utang di luar negeri tidak saja membuat negara berkembang menderita, tetapi juga negara dan institusi donor yang selama ini memberi pinjaman. Mereka kuatir bahwa negara kreditor tidak mampu membayar kembali utang-utangnya. Pada perkembangannya timbul beberapa solusi krisis ini, di antaranya pendirian institusi pengelolaan utang, HIPC Initiative, dan Debt for Nature Swap.

Beberapa negara-negara yang termasuk HIPC mendapat pengurangan utang melalui prakarsa yang disebut HIPC Initiative yang dalam perkembangannya muncul HIPC Enhanced Initiative. Namun, Indonesia tidak dapat bantuan pengurangan utang ini karena masih dianggap mampu untuk membayar cicilan utang dan bunganya. Selanjutnya Indonesia mengajukan program debt for nature swap kepada beberapa negara kreditor yang tergabung dalam CGI. Hasilnya beberapa negara menerima dan sebagian menolak. Dalam perkembangannya, konversi utang ini tidak saja berlaku untuk pembiayaan pelestarian lingkungan, namun juga melebar ke bidang pendidikan dan kesehatan.

Investasi Luar Negeri

Peranan investasi asing langsung mempunyai peranan penting bagi perekonomian negara khususnya negara berkembang yang memiliki stok tabungan yang minim. Namun demikian, survei yang dilakukan oleh UNCTAD menunjukkan bahwa negara maju pun sebenarnya memerlukan investasi asing. Hal tersebut dapat dilihat dari aliran FDI yang berasal dari negara maju menuju ke negara maju lainnya.

Pada umumnya investasi asing dapat berupa FDI atau investasi portofolio. Perbedaannya adalah FDI lebih bersifat jangka panjang dan biasanya terjadi transfer teknologi dan manajerial yang dapat diadopsi oleh negara tuan rumah (host country). Sebaliknya, investasi portofolio bersifat jangka pendek dan implikasinya adalah modal tersebut dapat bergerak pindah dari suatu negara ke negara lain (mobilitas ini disebut juga “uang panas”). Oleh karena itu, suatu negara sangat rentan terhadap keberadaan investasi portofolio ini.

Anggito Abimanyu (1994) dalam studinya mengenai TNC di Indonesia menyimpulkan beberapa hal yang menarik berdasarkan analisis data industri tahun 1986-1991 dari Badan Pusat Statistik. Pertama, peningkatan masuknya TNC ke Indonesia, terutama PMA penuh pada akhir tahun 1980-an, bukan merupakan industri unggulan, namun justru yang sudah buangan. Kedua, kinerja TNC umumnya cenderung berorientasi pada pasar dalam negeri meskipun produk yang dihasilkan memiliki keunggulan komparatif untuk ekspor. Ketiga, TNC cenderung memanfaatkan tenaga kerja yang relatif terlalu tinggi dan boros karena upah yang rendah. Dengan kata lain, kondisi upah rendah adalah daya tarik utama masuknya TNC ke Indonesia.

Perusahaan Transnasional (TNC )

Tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan TNC di beberapa negara memiliki peranan yang penting dalam meningkatkan produktivitas ekonomi negara tersebut. Dalam skala global, besarnya peranan TNC dapat dilihat dari besarnya tenaga kerja yang diserap, jumlah penjualan di dunia serta aliran FDI yang meningkat dari tahun ke tahun (World Investment Report 2002). Pada umumnya TNC terkemuka di dunia di dominasi oleh negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang dan Eropa. Namun, dalam perkembangannya, terdapat 5 TNC yang berasal dari negara berkembang, seperti Venezuela (Petroleos de Venezuela) dan Malaysia (Petronas).

Menurut Dicken (1992), peranan TNC dapat dijelaskan (1) TNC dapat mengendalikan ekonomi di lebih satu negara; (2) kemampuan TNC untuk memanfaatkan perbedaan geografis antarnegara dan daerah khususnya dalam segi faktor endowments (termasuk kebijakan pemerintah); (3) kemampuan TNC untuk memindahkan sumber daya dan operasi lintas lokasi dalam skala global. Kontribusi TNC bagi host country adalah bertambahnya stok modal, transfer pengetahuan, dan praktik manajerial dan organisasi.

Dalam perkembangannya, terdapat beberapa pihak yang menganggap bahwa TNC membawa manfaat positif bagi negara berkembang. Namun, di lain pihak berargumen bahwa TNC justru lebih membawa dampak negatif daripada dampak positif bagi suatu negara. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya pro-kontra bagi keberadaan TNC.
Strategi Pembangunan Industri

Strategi pembangunan industri yang umum digunakan di suatu negara adalah substitusi impor (inward-looking) dan promosi ekspor (outward-looking). Strategi substitusi impor identik dengan proteksionisme yang dilakukan pemerintah untuk melindungi industri yang masih muda agar dapat bersaing, sedangkan strategi promosi ekspor identik dengan usaha peningkatan ekspor untuk meningkatkan pendapatan nasional.

Strategi substitusi impor diminati oleh banyak negara berkembang setidaknya karena 2 alasan berikut. Pertama, strategi substitusi impor yang pada dasarnya diterapkan untuk memenuhi permintaan domestik akan barang-barang konsumsi tidak selalu memerlukan teknologi maju untuk memproduksinya. Kedua, bagian yang paling menarik dari strategi substitusi impor adalah kemungkinan penghematan devisa melalui penurunan belanja negara dalam bentuk valuta asing yang pada gilirannya akan menurunkan defisit perdagangan.

Keuntungan penerapan strategi promosi ekspor adalah meningkatnya nilai ekspor sebuah negara yang dapat meningkatkan pemasukan negara berupa mata uang asing sehingga meningkatkan cadangan devisa. Namun, penerapan strategi ini berpotensi menyebabkan kenaikan pengeluaran untuk impor seiring dengan kenaikan pendapatan suatu negara yang pada akhirnya menimbulkan pengaruh negatif pada neraca perdagangan negara yang bersangkutan.

Kinerja dan Daya Saing Industri
Permasalahan struktural pada industri Indonesia adalah (1) tingginya tingkat konsentrasi dalam perekonomian dan banyaknya monopoli, baik yang terselubung maupun terang-terangan pada pasar yang diproteksi, (2) dominasi kelompok bisnis pemburu rente (rent-seeking) ternyata belum memanfaatkan keunggulan mereka dalam skala produksi dan kekuatan finansial untuk bersaing di pasar global, (3) lemahnya hubungan intra industri, sebagaimana ditunjukkan oleh minimnya perusahaan yang bersifat spesialis yang mampu menghubungkan klien bisnisnya yang berjumlah besar secara efisien, (4) struktur industri Indonesia terbukti masih dangkal, dengan minimnya sektor industri menengah, (5) masih kakunya BUMN sebagai pemasok input maupun sebagai pendorong kemajuan teknologi, (6) investor asing masih cenderung pada orientasi pasar domestik (inward oriented), dan sasaran usahanya sebagian besar masih pada pasar yang diproteksi.

Struktur industri Indonesia cenderung oligopolistik karena (1) adanya proteksi (tata niaga), (2) besarnya modal yang diperlukan untuk investasi, (3) tingginya teknologi yang digunakan, (4) adanya preferensi terhadap produk.

Daya saing negara amat berlainan dengan daya saing perusahaan karena setidaknya 2 alasan (1) dalam realitas, yang bersaing bukan negara, tetapi perusahaan dan industri. Kebanyakan orang menganalogkan daya saing negara identik dengan daya saing perusahaan. Apabila negara Indonesia memiliki daya saing, belum tentu seluruh perusahaan dan industri Indonesia memiliki daya saing di pasar domestik maupun internasional, (2) mendefinisikan daya saing negara lebih problematik daripada daya saing perusahaan. Apabila suatu perusahaan tidak dapat membayar gaji karyawannya, membayar pasokan bahan baku dari para pemasok, dan membagi dividen, maka perusahaan itu akan bangkrut dan terpaksa ke luar dari bisnis yang digelutinya. Perusahaan memang bisa bangkrut, namun negara tidak memiliki bottom line alias tidak akan pernah “ke luar dari arena persaingan”.
Pengembangan Usaha Kecil

Ada 2 definisi usaha kecil yang dikenal di Indonesia. Pertama, menurut UU No 9 Tahun 1995 adalah kegiatan ekonomi rakyat yang memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp1 miliar dan memiliki kekayaan bersih, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, paling banyak Rp200 juta. Kedua, menurut BPS mengklasifikasikan industri berdasarkan jumlah pekerjanya, yaitu (1) industri rumah tangga dengan pekerja 1-4 orang; (2) industri kecil dengan pekerja 5-19 orang; (3) industri menengah dengan pekerja 20-99 orang; (4) industri besar dengan pekerja 100 orang atau lebih (BPS, 1999: 250).

Usaha kecil pada umumnya memiliki karakteristik (1) tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bidang administrasi dan operasi, (2) rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal, (3) sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum dipunyainya status badan hukum, (4) dilihat menurut golongan industri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok usaha industri makanan, minuman dan tembakau, kelompok industri barang galian bukan logam, industri tekstil, dan industri kayu, bambu, rotan, rumput dan sejenisnya termasuk perabotan rumah tangga. Masing-masing berkisar antara 21% hingga 22% dari seluruh industri kecil yang ada.

Perhatian untuk menumbuhkembangkan industri kecil dan rumah tangga (IKRT) setidaknya dilandasi oleh 3 alasan, yaitu (1) IKRT menyerap banyak tenaga kerja, (2) IKRT memegang peranan penting dalam ekspor nonmigas, (


PRIVATISASI BUMN
Gelombang Privatisasi Dunia

BUMN didirikan dengan tujuan memobilisasi tabungan masyarakat, menciptakan kesempatan kerja, menyediakan barang-barang publik, dan menjaga industri atau sektor yang dianggap strategis tetap di bawah kendali pemerintah.

Ada beberapa alasan dilakukannya privatisasi BUMN. Pertama, meningkatkan kinerja berupa efisiensi ekonomis BUMN yang ditunjukkan dengan harga jual yang rendah dan meningkatnya kualitas produk. Kedua, mengurangi defisit keuangan. Ketiga, mencapai keseimbangan antara sektor publik dan sektor swasta. Keempat, privatisasi bertujuan untuk menciptakan investasi baru, termasuk investasi asing, kepemilikan saham yang lebih besar dan pendalaman sistem keuangan dalam negeri.

Privatisasi di negara-negara Amerika Latin ternyata bukan hanya keputusan ekonomi. Di negara-negara ini, privatisasi dikaitkan dengan tarik menarik kekuatan politik dan bukan hanya sekadar “rasionalitas pasar”. Namun, privatisasi dilakukan akibat “tekanan” bank-bank internasional, konsultan dan lembaga pemerintah yang mendesain program privatisasi. Reformasi BUMN di Cina diawali dengan eksperimen Deng Xiaoping pasca-Kongres Partai ke-11 pada tahun 1978. Di hampir semua daerah, 70% BUMN skala kecil dan menengah diprivatisasi terutama melalui skema pemegang saham oleh para karyawan.


Privatisasi BUMN di Indonesia

Beberapa alasan mengapa pemerintah Indonesia melakukan privatisasi terhadap BUMN, yaitu (1) untuk menutupi defisit APBN, (2) tidak memiliki dana segar menyubsidi BUMN agar terus berkembang demi kepentingan masyarakat, (3) banyak BUMN yang tidak dapat menghasilkan keuntungan maksimal untuk dikontribusikan bagi kemakmuran rakyat melalui APBN, (4) maraknya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menyebabkan BUMN bekerja tidak efisien.

Di Indonesia, pemerintah baru sejak 1988 memberlakukan upaya privatisasi secara bertahap, yakni dengan dikeluarkannya Inpres No. 5 (Oktober 1988), 3 Keputusan Menteri Keuangan (740/KMK.00/1989; 741/KMK.99/1989; 1232/KMK.013/1989), dan surat Edaran S-648/MK013/1990. Selama tahun 1989-1993 ternyata baru tujuh BUMN yang telah diprivatisasi. Jumlah ini 5 buah lebih sedikit dari pada BUMN baru yang didirikan dalam periode yang sama, dan 45 lebih sedikit dari pada yang pernah dinyatakan oleh Menteri Keuangan akan diprivatisasi setelah 1989. Jumlah saham yang dijual ke investor swasta juga masih relatif kecil. Dari enam BUMN yang diprivatisasi melalui pasar modal antara tahun 1991 sampai 1997, sebagian besar kepemilikan saham BUMN masih dikuasai oleh pemerintah. Pemerintah hanya menjual sebagian sahamnya yang berkisar antara 25% sampai 35%.


Kinerja dan Strategi Reformasi BUMN

Proses privatisasi BUMN tidak saja dalam terjadi di negara berkembang, namun juga di negara-negara maju. Kebijaksanaan privatisasi baik di negara maju maupun negara berkembang dalam rangka untuk membebaskan pemerintah dari campur tangan dalam bidang ekonomi yang merupakan bidang yang semestinya dilakukan oleh sektor swasta.

Reformasi BUMN mengandung makna yang lebih luas dan memerlukan sebuah grand strategi reformasi BUMN. Reformasi seharusnya mencakup setidaknya 2 dimensi utama, yaitu internal korporat BUMN dan positioning BUMN dalam konfigurasi sistem ekonomi nasional (Kuncoro, 2002). Tanri akhirnya memutuskan program privatisasi dilakukan melalui penjualan lewat mitra strategik (strategic partner) di banding lewat penawaran publik melalui bursa saham. Yang dikarenakan: pertama, pasar modal baru mengalami depresi akibat krisis moneter. Kedua, penjualan lewat mitra strategik dianggap lebih baik daripada penawaran publik terutama dalam memperbaiki manajemen BUMN maupun peningkatan akses mereka terhadap pasar dan teknologi..

Buku pustaka Gunadarma