Kamis, 07 Januari 2010




Di blog ini saya ini berbagi Informasi mengenai Perekonomian Indonesia, bersama-sama dengan seluruh negara di dunia, saat ini sedang berada ditengah-tengah “badai”. saya sebagai warga Indonesia khusus nya sangat prihatin dengan kejadian menimpa perekonomian Indonesia.Hal itu secara kasat mata dapat dilihat dari mengetatnya kredit perbankan dan munculnya berbagai sumbatan arus likuiditas, utamanya likuiditas devisa (bukan likuiditas rupiah). Kedua permasalahan tersebut sebenarnya sudah semakin melonggar karena adanya berbagai kebijakan yang telah diambil oleh negara-negara hampir secara bersamaan dalam konteks untuk memperbaiki arus likuditas devisa, terutama karena sudah banyak devisa yang telah “kembali ke kandangnya”. Hal lain yang lebih penting untuk diperhatikan adalah dampak lanjutan dari badai tersebut pada sektor riil. Resesi ini diperkirkan akan terjadi sangat serius, dalam dan panjang, sampai 2-3 tahun kedepan. Pada masa itu perekonomian global akan melambat bahkan beberapa negara utama akan memiliki pertumbuhan yang negatif. Oleh karena itu dibutuhkan antisipasi dari dalam negeri terhadap berbagai dampak yang bakal terjadi di kemudian hari.

Krisis keuangan di Amerika dimulai ketika Presiden Bush meluncurkan kredit sub-prime, yaitu kredit dengan syarat yang sangat longgar, berupa pinjaman kredit perumahan, kartu kredit dan kredit mobil kepada kelompok yang disebut NINJA (no income, no job and asset) yang jumlahnya sekitar 81 persen terdiri dari warga Amerika keturunan Hispanik dan Afrika, dimana keseluruhan kredit tersebut dijamin oleh Fannie Mae and Freddie Mac. Pada perkembangannya mortgage loan tersebut disekuritisasi dalam bentuk MBS di sektor manufaktur dan dinilai oleh rating agency tanpa pernah tahu apakah mortgage tadi merupakan produk yang berasal dari prime atau sub-prime. Demikian pula halnya ketika mortgage tersebut diperjualbelikan oleh private wealth management dan dibeli oleh investor di seluruh dunia.

Hal ini menciptakan komplikasi karena panjangnya distribution channel dan adanya ke-tidaktransparan-an yang telah diciptakan oleh para financial engineer yang mampu membuat kondisi seolah-olah “tidak ada resiko” pada produk tersebut dengan cara spread the risk. Begitu “hebatnya” para financial engineer di Wall Street, hingga mampu mentrasform surat hutang berisiko tinggi (dalam hal ini MBS) menjadi CDOs dengan rating investasi AAA atau Aaa sehingga menggiurkan para investor. Kondisi ini disebut sebagai senyawa keuangan atau financial alchemy.

Ketika pasar dalam keadaan tertekan, dimana harga perumahan mulai turun (hingga 20% di Amerika), tingkat pendapatan juga turun (stagnasi) dan suku bunga akan tinggi (naik) maka akan tercipta wealth destruction yang memungkinkan terjadinya resesi. Hasil akhir dari ini adalah ekuitas perumahan tergerus dan pembayaran hutang lewat refinancing tidak mungkin dilakukan lagi karena peminjam mengalami kesulitan untuk membayar cicilan.


Ketika perekonomian dunia sedang mencari keseimbangan yang baru, maka nilai tukar juga akan mencari keseimbangan barunya, begitu pula halnya dengan neraca pembayaran. Karena liquidity squeeze yang dialami perbankan dalam negeri begitu besar, kebijakan yang lebih mengacu pada inflasi harus dibarengi dengan kebijakan liquidity management di bidang perbankan dan capital market. Kapasitas bank sentral dalam menentukan arah kebijakan moneter sudah ditempuh dengan berbagai macam cara, seperti penurunan biaya REPO sehingga cost of borrowing ke bank sentral akan menurun; perluasan eligible asset pada kredit yang memiliki klasifikasi bagus sehingga bisa diagunkan kembali ke bank sentral; revisi giro wajib minimum (GWM) agar ketetatan likuiditas perbankan baik dalam rupiah maupun valas bisa ditangani; dan pembelian surat berharga pemerintah.


Dampak krisis global telah menyebabkan kompetisi untuk merebut kapital di pasar modal mengakibatkan kenaikan suku bunga dan berbuntut pada kenaikan biaya modal, padahal likuiditas USD di pasar modal mulai ketat. Hal ini akan menyebabkan yield curve obligasi negara yang semakin tinggi ditengah-tengah depresiasi rupiah maka refinancing pemerintah (APBN) maupun swasta menjadi semakin mahal dan sulit. Pada saat yang bersamaan trade financing menjadi sulit dan mahal sehingga ekspor cenderung menurun dan tekanan impor meningkat, serta sektor riil terganggu sehingga terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi.

Diperlukan langkah nyata untuk menjaga sustainabilitas APBN 2009. Beberapa langkah defensive yang dapat dilakukan adalah penghematan belanja untuk kegiatan yang bukan prioritas dan kurang penting, realokasi belanja pemerintah pusat dan daerah (jika diperlukan), Menyempurnakan pernyataan status dan kondisi keadaan darurat untuk diberlakukan emergency lending dalam UU APBN 2009, peningkatan dana risiko fiskal untuk mengatasi deviasi asumsi ekonomi makro, target pertumbuhan penerimaan pajak yang lebih rendah, dan penurunan defisit APBN menjadi 1% PDB dengan sumber pembiayaan dari pasar dengan porsi yang lebih kecil.


Untuk itu strategi pembiayaan melalui utang yang dapat dilakukan pada tahun 2009 harus mengacu pada beberapa ketentuan bahwa permintaan terhadap SBN 2009 akan lebih rendah akibat penurunan minat investor, dan dimungkinkan adanya alternatif pembiayaan dari lembaga-lembaga multilateral dan investor institusi. Oleh karena itu koordinasi antara Pemerintah dan BI harus terus ditingkatkan untuk menjaga stabilitas makro


Sebab Akibat krisis global Terhadap Dunia Dan Indonesia :

1.Apa penyebab kebangkrutan bank-bank/perusahaan di Amerika Serikat?
2.Mengapa IHSG mengalami penurunan?
3.Mengapa nilai Rupiah terdepresiasi?
4.Mengapa harga komoditi ekspor turun (sawit, karet, dsb)?



Perusahaan-perusahaan raksasa Amerika bertumbangan. Pemerintah terpaksa menyiapkan dana talangan 700 milyar dollar. Semuanya akibat sistem kapitalisme liberal sebagaimana halnya di Indonesia.

Apa sesungguhnya yang terjadi? Krisis ini bermula dari macetnya kredit perumahan di Amerika karena ternyata para pemilik rumah memang tak mampu membayar cicilan kredit. Kemacetan itu merembet ke mana-mana, terutama menimbulkan krisis keuangan di Amerika, dan kemudian berdampak ke berbagai belahan dunia.

Di Amerika, krisis ini menyebabkan harga rumah turun sampai 16%, angka pengangguran meningkat bersama meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan-perusahaan yang terguncang krisis. Penjualan rumah macet.

Maka berbagai lembaga keuangan raksasa yang bangkrut, seperti disebut di atas, umumnya adalah perusahaan yang terlibat dalam pemberian kredit, penjaminan kredit, dan asuransi kredit perumahan subprime mortgage.

Tapi ketika Maret 2008, The Fed membantu Bear Stearns, bank investasi di Wall Street, 29 milyar dollar, untuk kemudian dikawinkan dengan JP Morgan, banyak pengamat yang meramalkan krisis telah berakhir. Alasannya, meski rendah, toh buktinya ekonomi Amerika masih terus tumbuh.

Sampai 6 bulan kemudian, September 2008, Fanny Mae dan Freddie Mac tersungkur dan harus disuntik 200 milyar dollar. Lalu disusul bankrutnya Lehman Brothers dan sejumlah raksasa lainnya. Oleh karena itu tampaknya sekarang tak ada ahli yang berani meramalkan sampai kapan krisis ini berakhir.

Meski pemerintah akan memborong saham bermasalah itu, seperti ditulis Profesor Paul Krugman, pengajar ekonomi Princeton University di The New York Times, 19 September lalu, “Pertanyaannya, apakah itu dilakukan dengan benar?’’. Yang pasti, krisis ini sudah berlangsung setahun lebih dan Krugman menyebutnya sebagai slo-mo crisis alias krisis dengan gerak lambat (slow motion).

Nouriel Roubini, ekonom dari Stern School of Business, New York University, menunjuk Jepang yang sudah 10 tahun mengalami stagnasi ekonomi, bisa dijadikan contoh untuk menarik banyak pelajaran. Maka kata Roubini, “Kereta api resesi sudah meninggalkan stasiun, tapi ia bisa berjalan satu setengah tahun atau bisa juga lima tahun.’’

Dampak yang ditimbulkannya juga terus menggelembung. Pada Juli 2007, Ketua The Fed, Ben Bernanke, menghitung krisis ini akan menimbulkan kerugian tak sampai 100 milyar dollar. Nyatanya sekarang dibutuhkan dana 700 milyar dollar untuk menjamin kredit macet (bad debt). Beberapa ahli meramalkan jumlah itu akan membengkak menjadi 1 triliun dollar atau lebih.

Apa yang terjadi di Amerika ini menjadi pelajaran berharga. Inilah bukti bahwa sistem kapitalisme laissez-faire yang liberal itu selalu menyebabkan krisis, mulai krisis ekonomi terparah di tahun 1929, sampai krisis lainnya, dan terakhir krisis subprime mortgage ini.

Para ahli sepakat sekarang bahwa krisis ini disebabkan tak adanya regulasi yang mengatur pasar saham Wall Street. Di dalam ideologi kapitalisme liberal, regulasi adalah barang haram. Oleh karena itu mantera yang harus terus diamalkan adalah deregulasi.


Dan itu dilaksanakan di Amerika sejak pemerintahan Presiden Ronald Reagan, di tahun 1980-an. Reagan menggunakan sistem kapitalisme untuk menghadapi sistem ekonomi terpusat dari komunisme, musuh Amerika dan Barat dalam Perang Dingin pada waktu itu.

Di zaman Presiden Clinton, misalnya, regulasi yang sudah ada sejak Great Depression, yang melarang bank komersial memperluas aktivitasnya dalam berbagai kegiatan finansil lain seperti investasi dan asuransi, dideregulasi alias dinyatakan tak berlaku. Apalagi ketika Alan Greenspan menjadi pemimpin The Fed, deregulasi demi deregulasi dilakukan. Sehingga iklim di sekitar pasar keuangan dan modal Amerika memang sangat bebas. Alan Greenspan pun dipuji-puji setinggi langit, termasuk oleh koran-koran utama di Indonesia.

Dalam sistem kredit perumahan, misalnya, kredit diberikan kepada orang di luar kemampuannya. Dan itu banyak sekali terjadi. Maka ketika tiba waktunya, terang saja pembayaran kredit itu macet. Parahnya kredit-kredit macet itu bisa menjadi surat berharga – obligasi, bond, surat utang, dan sebagainya – dengan nilai tinggi. Ia terjual laris-manis ke mana-mana ke seluruh dunia.

Maka dalam editorial 20 September lalu, koran terkemuka Amerika, The New York Times dengan sangat keras mengecam sistem kapitalisme liberal yang ditrapkan pemerintahan Presiden Bush sebagai sumber malapetaka ini. Menurut editorial itu, rakyat Amerika harus diberi tahu kebenaran yang fundamental bahwa krisis yang sekarang menerpa Amerika terjadi sebagai hasil sebuah kesengajaan dan kegagalan sistematik dari pemerintah untuk mengatur dan memonitor aktivitas bankir, kreditor, pengelola dana (hedge funds), asuransi dan pemain pasar lainnya.

Kegagalan pengaturan itu, pada masanya, didasari pada kepercayaan suci dari pemerintahan Bush bahwa pasar dengan tangan silumannya bekerja dengan sangat baik ketika ia dibiarkan sendiri, mengatur dirinya sendiri, mengawasi dirinya sendiri. ‘’Negeri ini sekarang harus membayar mahal harga khayalan itu,’’ tulis editorial tersebut.

Maka berbagai penjaminan, penalangan, yang sekarang dilakukan pemerintah, menurut editorial tersebut, hanya langkah pertama. Setelah itu, yang harus dilakukan adalah bekerja keras untuk membuat regulasi yang dibutuhkan oleh sebuah sistem keuangan yang terpercaya.



Pembukaan Perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) Kamis (16/10) melemah 76, 49 point atu 5,03% ke posisi 1443, 92. Sedang rupiah berada di kisaran 9.800 per dolar Amerika.

Pengamat Pasar Modal, Irwan Ibrahin pagi ini menyebutkan, penyebab lemahnya IHSG karena masih adanya kekhawatiran investor asing, terutama apabila Grup Bumi Resources (Grup Bakrie) akan dibuka suspensinya minggu depan.

Selain itu harga minyak mentah dunia, CPO timah, nikel maupun harga emas dijelaskan Irwan trendnya turun karena tidak adanya likuiditas lagi di pasar seiring dengan kekhawatiran ancaman resesi global dimana kegiatan ekonomi akan sangat rendah sekali.

Apalagi di Amerika sendiri atau Eropa program bailout belum terlihat ukuran suksesnya, meskipun Presiden Bush rencananya akan mengucurkan dana ke market belum terlihat. Sedangkan di dalam negeri sendiri rencana buy back saham BUMN belum terlihat di market

Apabila Group Bakrie akan buka dimungkinkan posisi tekanan jual akan semakin kencang dan menyeret saham-saham lainnya.

Penurunan IHSG beberapa minggu belakangan ini sudah menunjukkan gejala-gejala yang mengkhawatirkan, Itu disebabkan antara lain :

1. Terjadi Net sell dari investor asing yang besar besaran.
2. Turunnya harga minyak bumi ( komoditas).
3. Banyaknya IPO. Telah menyedot dana dari bursa yang mulai mengering,
4. Agresifnya KPPU, membuat Investor besar ragu masuk ke Pasar Modal.
5. Aturan Tender Offer baru yang dibuat buat (tdk masuk akal) dan berlaku surut telah merugikan banyak pihak dan mendistorsi pasar.

Sebelum situasi Pasar Modal ini mengganggu sektor ekonomi yang lain, seperti Reksadana dll. Diharapkan yang berwenang, dalam hal ini Menkeu agar bersedia menunjukkan perhatiannya.


Keinginan pemerintah mengajukan revisi Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2009, dinilai sebagai langkah tepat ditengah melemahnya ekonomi dunia akibat pengaruh krisis keuangan AS.

Asumsi RAPBN 2009 memang perlu diubah dan disesuaikan dengan kecenderungan global. Perekonomian dunia akan mengalami perlambatan pertumbuhan. Laju pertumbuhan ekonomi dunia akan melambat akibat merosotnya permintaan atau investasi baru. Selain itu, laju inflasi 2009 masih tinggi akibat dampak krisis finansial global. Karena itu, RAPBN harus beradaptasi dengan kecenderungan global itu. Dan krisis finansial global akan menekan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia di bawah 6 persen.

Selain itu, nilai tukar rupiah juga akan terdepresiasi terhadap dolar hingga di atas 9.700 per dolar AS, dan inflasi pun akan meningkat. Rupiah akan tetap berada di atas 9.500 karena masih ada gap inflasi 7% antara AS dengan Indonesia sehingga rupiah harus terdepresiasi.

Namun dengan begitu suku bunga acuan BI Rate tidak perlu dinaikkan lagi. BI bisa melakukan penurunan 0,5% pada Oktober, hingga akhir tahun mencapai 9,5%. Tahun 2009, BI Rate bisa mulai diturunkan secara perlahan dan pertumbuhan kredit harus ditekan karena sudah terlampau besar.






Anjloknya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Indoensia dipengaruhi oleh krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat. Selain itu, harga TBS juga terpengaruh oleh turunnya harga minyak dunia.

Karena krisis itu, terjadi likuiditas (peredaran uang kontan semakin ketat). Akibatnya, permintaan menurun dan tentu berakibat pembelian juga menurun. Dan eksport TBS Indonesia terjadi pengurangan (walau tidak terlalu tajam). Ini kemudian berimbas kepada petani.

Amerika Serikat sendiri sedang berada di ambang kehancuran financial sebagai imbas dari krisis ekonomi. Ini terjadi karena banyak saham-saham yang menjadi maskot Wall Street berguguran. Apalagi perusahaan sekelas Lehman brothers dan Washington Mutual menyatakan kebangkrutan. Belum lagi raksasa Asuransi AIG, sahamnya turun hingga 50 persen.

Nah, efek dari krisis ekonomi dan finansial di USA telah merambat ke negara-negara di Asia dan Eropa. Banyak negara yang memberikan suntikan dana kepada lembaga keuangan supaya tidak tergerus arus krisis ekonomi yang berasal dari Amerika Serikat.

Jadi langkah-langkah yang harus dilakukan pemerintah yaitu memberikan kredit lunak kepada petani sawit, atau memberikan pupuk gratis, atau mensubsidi petani. Pokoknya pemerintah harus memikirkan langkah-langkah yang tepat.

Dibawah ini adalah Gambar tabel Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Paska Krisis Ekonomi yang saya kutip dari Sumber Siaran Pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 5 Januari 2009 :


Dari uraian diatas dapat saya simpulkan bahwa Pemerintahan SBY-Boediono yakon dapat bangkit dari ketrpurukan krisis Ekonomi yang menimpa negara Indonesia.Dan saya jg mengutip wawancara Menko Sri Mulyani menjelaskan bahwa selain berbagai program dan alokasi anggaran yang sudah memperoleh persetujuan DPR-RI melalui Undang-undang APBN 2009 Pemerintah masih akan memfinalkan program dan alokasi anggaran memanfaatkan sebagian SILPA APBN 2008. Hal itu akan dilakukan dalam waktu dekat dengan melibatkan berbagai stakeholders terkait dan sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, sehingga kebijakan yang dilaksanakan akan tepat arah dan efektif.


Disusun oleh :

Asido Simarmata ( 31208553 )

Refrensi :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar